Hari Hutan Sedunia

Dalam diskusi hangat bersama rekan rekan pemuda adat di sebuah desa, tanpa terasa arah obrolan malam ketika itu mengarah pada pertanyaan klasik.
” Mengapa tempat kami di sebut kawaaan hutan. !. “.

Pertanyaan bernada protes ini, cukup aering terucap dan terdengar. Tetapi, kenapa tidak ada ucapan terima kasih, kerika kaqasan hutan di lepas menjadi non hutan.

Dalam istilah tataruang saat ini, kawasan hutan terbagi dalam dua kelompok. Kawasan konservasi dan kaqasan budidaya kehutanan. Nah.. kalau demikian, sebenarnya kita masih memungkinkan melakukan aktifitaa budidaya di dalam kaqasan hutan. Komoditasnya, tetap harus komoditas kehutanan. Karena sudah dialokasikan kawasan budidaya perkebunan.

Yamg harus kita perhatikan dan sewajarnyalah pemerintah menginformasikan hal ini kepada masyarakat. Soal tataruang. Terutama untuk mencegah kesalahan cara kelola. Ibaratkan tatakelola rumah, anak dan penghuni nya perlu mengetahui dan memahami fungsi dari masing masing ruang dalam rumah. Hal sama juga berlaku dalam tatakelola ruang desa, kecamatan, kabupaten ataupun negara.
Dihari hutan internasional (20 Maret) , pertanyaan ini masih ada dan selalu muncul. Seharusnya, budidaya kehutanan dikenal dan diminati masyarakat. Dan budidaya kehutanan bukan hanya dari menebang kayu. Hasil hutan bukan kayu juga sangat menjanjikan. Hanya saja perlu promosi, pendidikan publik dan dukungan konsumen.

Mari tanam hutan, dan gapai kesejahteraan dan kualitas lingkungan yamg lebih baik.

image

Carbon Monitoring

Pengamatan stok karbon pada lahan lahan kelola masyarakat adat menjadi salah satu proyek jangka panjang perkumpulan lemang nusa.

Kegiatan ini menjadi bagian dari pengamatan karbon stok provinsi Kalimantan Barat. Proyek ini di pimpin oleh Pokja REDD+ Kalbar.

Tahun ini, pengamatan dilakukan di hutan adat di desa Sekabuk, kec. Toho Hilir.

image

Kebun Kayu

Ketika menyebutkan kebun, maka pikiran kita mau tidak mau terarah pada sebidang kecil tanah, yang ditanami berbagai tanaman hortikultura atau tanaman buah. Agak sulit kita membayangkan sebuah kebun adalah kebun kayu. Karena pikiran pasti juga akan mengarah kalau kebun ditumbuhi kayu, maka itu kebun tak terurus.

Padahal, sesungguhnya masyarakat kita terbiasa membangun kebun kayu keluarga. Namun memang produk yang dipanen adalah buka kayu. Salah satu contohnya kebun karet. Di Sumatera, masyarakat terbiasa membudidayakan dan memproduksi kayu manis, yang hasil utama adalah kulit kayu manis, yang memang bernilai ekonomi tinggi. Akhir akhir ini, kayu limbah hasil panen kulit kayu manis mulai dilirik dan memiliki nilai ekonomi yang lumayan tinggi.

Lanjutkan membaca “Kebun Kayu”

Keluarga dan Hutan

Masyarakat adat selalu memiliki hubungan dan keperluan terhadap hutan, tanah dan budaya. Dalam banyak penelitian, dokumentasi ataupun tulisan. Baik tulisan akademisi, aktifis maupun jurnalis, bahkan publikasi swata pemegang konsesi (kebun, pertambangan ataupun kehutanan), selalu disebutkan masyarakat adat memiliki hubungan dan kebutuhan yang sangat kuat dengan hutan dan tanah. Yang diikat dalam hubungan sosial dan lingkungan hidupnya.

Dalam publikasi yang diterbitkan Program Pemberdayaan Sistem Hutan Kerakyatan – Pancur Kasih, Hutan adalah ibu dan sungai adalah darah. Sedangkan masyarakat adat kabupaten Ketapang sangat akrab dengan slogan, hutan ba jalu, sungai ba ikan. Kalimat kalimat ini selalu disebutkan dalam berbagai kegiatan. Baik kegiaan keagamaan, kampanye politik atau kisah kisah dongen pengantar tidur. Semua menunjukan bahwa masyarakat adat, keluarga keluarga adat memiliki hubungan dan keterikatan dengan alam. Alam sekitar tempat hidup dan asal usulnya.

Lanjutkan membaca “Keluarga dan Hutan”