Keluarga dan Hutan

Masyarakat adat selalu memiliki hubungan dan keperluan terhadap hutan, tanah dan budaya. Dalam banyak penelitian, dokumentasi ataupun tulisan. Baik tulisan akademisi, aktifis maupun jurnalis, bahkan publikasi swata pemegang konsesi (kebun, pertambangan ataupun kehutanan), selalu disebutkan masyarakat adat memiliki hubungan dan kebutuhan yang sangat kuat dengan hutan dan tanah. Yang diikat dalam hubungan sosial dan lingkungan hidupnya.

Dalam publikasi yang diterbitkan Program Pemberdayaan Sistem Hutan Kerakyatan – Pancur Kasih, Hutan adalah ibu dan sungai adalah darah. Sedangkan masyarakat adat kabupaten Ketapang sangat akrab dengan slogan, hutan ba jalu, sungai ba ikan. Kalimat kalimat ini selalu disebutkan dalam berbagai kegiatan. Baik kegiaan keagamaan, kampanye politik atau kisah kisah dongen pengantar tidur. Semua menunjukan bahwa masyarakat adat, keluarga keluarga adat memiliki hubungan dan keterikatan dengan alam. Alam sekitar tempat hidup dan asal usulnya.

Hutan, spa3-photo-3ungai dan segala isinya memang menyediakan banyak hal. Bagi masyarakat atau keluarga. Pengertaian hutan disini bukan ansih hutan sesuai terminologi Departeen Kehutanan ataupun akademisi. Hutan disini bisa saja di sebut oleh sebagian orang sebagai kebun buah, kebun karet ataupun bentuk pemanfaatan lain. Kalaupun ingin ditemukan isitlah kehutanannya, mugkin boleh dipergunakan kata “Agroforestry”. Hutan dengan segala macam aktifitas yang mengikuti atau berlangsung di dalamnya. Baik itu kegiatan pertanian, kehutanan, pertenakan ataupun perikanan. Bukan tidak mungkin hutan yang maksud atau dikelola sebuah keluarga berada di kawasan bergambut, basah, ataupun tergenang. Ditempat lain mungkin saja dilahan kering.

pa2-photo-2

Tetapi juga sangat mungkin, bila kawasan ini hampir mirip atau memenuhi kriteria sebagai hutan sebagaimana mana yang selama ini disebut dan dikenal dibidang akademis kehutanan.

Malangnya, negara tidak memberikan kesempatan pada keluarga keluarga untuk memelihara dan mengelola hutanya sendiri. Keluarga keluarga hanya diarahkan untuk mengelola pertaniannya, kebun kecilnya, ternak ayam atau kewan lainnya. Tetapi tidak pada hutan. Bagaimana mungkin, masyarakat adat atau keluarga keluarga yang memiliki keterikatan adat budaya dan kebiasaan pada alam tidak diperolehkan dan tidak memiliki hak akses pada asalnya. Pada hutan, pada kebun kayunya. Kalaupun mereka memiliki kebun kayunya, yang selalu dipandang dan dinilai hanya hasil bukan kayu. sebutlah, kebun karet. Setiap keluarga memiliki 1-4 hektar kebun karet. Yang selalu disebut dan dinilai adalah nilai getah karetnya. Tudak pernah ada penilaian atau penghargaan pada nilai kayunya. Yang mungkin saja setelah berumur 15 tahun harus diregenerasi, yang artinya kayunya bernilai.

menoreh getah

Perpu 56 tahun 1960, menyebutkan satu kelurga diperbolehkan maksimal menguasai lahan seluas 20 hektar. Baik tanah kering maupun lahan basah.

Kalau kita lihat peraturan lain, tentang Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan ini hanya memberikan hak kelola seluas 15 hektar kepada keluarga yang telah mengajukan permohonan dan memperoleh ijin. Ohhh ternyata ada tahapan perijinan yang harus dilakukan. Apakah sulit atau sederhana prosesnya. Bagaimana dengan kewajiban dan lain lainnya. kelihatannya sangat sulit.

Bagaimana dengan peraturan pemerintah tentang Hutan Rakyat. Ternyata melalui aturan ini keluarga ataupun pegaju, dapat memperoleh hak pengelolaan atau pemanfaatan hasil hutan kayu pada kawasan non hutan. Tetapi hak hak tebang, bukan hak kelola (menanam, memelihara dan menjual).

Mengelola hutan bukanlah pilihan buruk. Keluarga keluarga yang memiliki dan mengelola hutan dengan baik dan pilihan kmoditas yang tepat, pastilah akan meraih manfaat dan kesejahteraan. Tidak juga tepat membatasi hak kelola masing masing keluarga, tetapi bukanlah hal yang bijak jika memberikan hak tak terbatas untuk mengelola lahan / hutan. Karena akhirnya cara ini akan menciptakan monopoli.

Pemerintah, swasta, masyarakat/keluarga dan kelompok swadaya masyarakat harus saling membahu untuk membangun kesejahteraan keluarga keluarga pengelola hutan. Hutan tak hanya menghasilkan kayu, tetapi juga tanaman obat, bahan pangan dan minuman. Bahkan hutan yang tertata rapi berpotensi sebagai tempat wisata. Tempat belajar.

< bersambung……………………>

 

 

Tinggalkan komentar