Keluarga, Pangan dan Gizi

Sebagian besar masyarakat Indonesia dipedesaan di sebut dan digolongkan keluarga miskin. Anak anak balita dan usia sekolah digolongkan gizi buruk hanya karrena berat badannya kurang. Ya, bisa saja sih memang gizi buruk. Tapi tak sedikit anak dalam masa pertunbuhan yang kurang berselera makan. Akibatnya terlihat kurus dari seharusnya.

Apakah semua anak dan keluarga harus makan lengkap. 4 sehat 5 sempurna. Boleh boleh saja. Kalau mampu. Dan seharusnya mampu.

 

Petani dan nelayan selalu di posisikan, dan memposisikan diri, sebagai alat produksi. Mesin produksi. Dan semua hasil terbaik harus diaerahkan kepasar dengan harga pasar. Bukan harga petani. Atau nelayan.

20160204_181015


 

Cerita nelayan pembudidaya ikan toman keramba dikapuas hulu misalnya jadi contoh. Setelah tiga tahun budidaya, panen dengan hasil 60 juta. Sang nelayan tak pernha berhitung berapa biaya budidaya selama tiga tahun. Ongkos bolal balik keramba warin (semacam bubu ikan kecl) selama tiga tahun. Ketika coba dibhitung hitung, ternyata nelayan hanya dapat untung tiga juta rupiah. Kalaupun ada. Masih lumayan, anak anak dan keluarga masih mungkin makan ikan toman kapanpun ingin selama masa budidaya.

Bagaimana dengan nasib keluarga lain. Yang hidup dari berburu. Lebih parah ternyata. Semua hasil buruan disetor ke pengumpul. Anal anak pemburu, hampir tak pernah merasakan gurihnya hasil buruan ayah. Mie instant atau ikan kaleng sekali sekali cukuplah.

Cerita yang hampir sama dialami petani beras. Keluarga petani beras, makannya beras raskin yang lebih murah.

Semua hasil terbaik, kirim ke kota atau ekport. Dan dengan kagumnya mereka berkata. “Anak kota memang lebih pintar dan bergizi. Anak kampung tak mampu bersaing dengan mereka”.

Apa yang salah ?

Tinggalkan komentar